Organisasi Masyarakat Sipil Gelar Diskusi Publik RUU Masyarakat Adat

Lensaperistiwa.com Ambon
Sejumlah organisasi masyarakat adat, akademisi, aktivis, dan unsur pemerintah daerah berkumpul dalam Konsolidasi dan Diskusi Publik Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat, yang berlangsung di Lantai VI Kantor Gubernur Maluku Selasa, (02/12/2025).
Kegiatan yang diselenggarakan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat bertujuan memperkuat pemahaman bersama sekaligus menghimpun masukan untuk penyempurnaan regulasi terkait keberadaan dan hak-hak masyarakat adat di Indonesia, khususnya di Provinsi Maluku.
Diskusi tersebut merupakan bentuk dari rangkaian 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP), sehingga memberikan ruang penting bagi penguatan suara perempuan adat dalam advokasi kebijakan nasional.
PLT Sekda Provinsi Maluku, Kasrul Selang, mewakili Gubernur Maluku saat membuka kegiatan menyampaikan bahwa, pembahasan RUU Masyarakat Adat memiliki arti strategis bagi Maluku sebagai “bumi raja-raja” yang kaya nilai adat dan kultur kepulauan.
“Pemerintah provinsi mendukung penuh pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat sebagai dasar penataan dan penguatan masyarakat adat melalui regulasi yang jelas,” ujarnya.
Kasrul juga mengungkapkan bahwa Pemprov bersama DPRD Maluku telah menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan, Perlindungan, dan Pemanfaatan Hutan Adat yang akan dibahas pada tahun 2026.
Regulasi tersebut akan menitikberatkan pada keberlanjutan lingkungan, serta peningkatan manfaat ekonomi bagi komunitas adat.
Pemprov juga mendorong percepatan penetapan peraturan daerah tentang negeri adat di kabupaten/kota sebagai tindak lanjut Perda Provinsi Maluku, Nomor 16 Tahun 2019.
Hingga kini, Kabupaten Maluku Tengah tercatat telah menetapkan 81 negeri adat, disusul daerah lain dengan pendekatan budaya masing-masing.
Dalam forum tersebut, Pemprov Maluku menyoroti tiga bidang penting yang perlu mendapat perhatian dalam RUU Masyarakat Adat, yang mana ketiga bidang tersebut, yakni, Pengakuan hak asal-usul dan relasi kewenangan negeri adat, yang harus didukung data adat valid untuk menghindari konflik sosial.
Selain itu, penguatan kearifan lokal, seperti praktik sasi, dengan menempatkan masyarakat adat sebagai subjek pengelolaan sumber daya alam, dan integrasi masyarakat adat dalam perencanaan pembangunan, termasuk perlindungan lingkungan, ekonomi hijau, dan nilai ekonomi karbon.
Pemprov juga menekankan pentingnya pranata adat dalam penegakan hukum, terutama menjelang berlakunya KUHP baru pada 2026 yang mengakui peran pranata adat dalam pemidanaan.
Selain itu, Ika Titahena, Perempuan Adat Seram sekaligus Ketua Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat memaparkan sejumlah ancaman yang saat ini dihadapi masyarakat adat di Maluku, di antaranya, Konflik internal maupun antar komunitas, yang memicu krisis identitas dan membuka ruang bagi pihak ketiga menguasai sumber daya adat.
Selanjutnya, Ketimpangan penguasaan sumber daya yang berdampak pada pelanggaran HAM, dan Eksploitasi sumber daya alam, yang mengancam pulau-pulau kecil dan merusak ekosistem laut.
Ia menyebut perempuan adat sebagai kelompok yang paling rentan akibat ketidakadilan sosial dan ekologis, mulai dari konflik lahan, hingga alih fungsi kawasan untuk industri ekstraktif.
Namun, Ika menegaskan masyarakat adat memiliki potensi besar, sebagai agen perubahan melalui kearifan ekologis, praktik turun-temurun, serta kekuatan solidaritas komunitas.
Ia juga mendorong tiga langkah utama, peningkatan kapasitas masyarakat adat, penguatan partisipasi perempuan adat dalam pengambilan keputusan, serta advokasi kolektif untuk mendorong percepatan pengesahan UU Masyarakat Adat.
Diskusi publik ini juga menjadi ruang penyusunan rekomendasi yang akan dibawa ke tingkat nasional, mencakup Mekanisme penetapan masyarakat adat, Perlindungan wilayah adat, Peran pemerintah daerah dalam memperkuat kelembagaan adat, serta Penguatan lembaga adat sebagai mitra pembangunan.
Diketahui, Kegiatan ini turut menghadirkan lima narasumber, diantaranya, Tim Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat Ika Titahena perwakilan (Perempuan Adat Seram), Huna Matoke (Perempuan Adat Suku Nuaulu), Jemmy Pieters (Akademisi, Universitas Pattimura), Ketua Komnas HAM Maluku, Lusi Peilouw (Perempuan Maluku), dengan moderator Christina Yulita dari Komnas Perempuan.(*)






