Kejanggalan MoU MIP? Rirry, Warga Kaibobo Menolak Jika Garap SDA

Kejanggalan MoU MIP? Rirry, Warga Kaibobo Menolak Jika Garap SDA

Lensaperistiwa.com  – SBB Proses pembangunan proyek strategis nasional Maluku Integrated Port (MIP), telah masuk tahap awal. Hal ini ditandai dengan penandatangan MoU dua perusahaan besar berlangsung di Osaka Jepang, Selasa, 07 Oktober 2025.

Disaksikan oleh Gubernur Maluku, Hendrik Lewerisa dan Bupati Seram Bagian Barat (SBB), Asri Arman, MoU pelaksanaan proyek MIP tersebut dilakukan antara perusahaan Shanxi Sheng’an Mining Co., Ltd. dengan PT. Indonesia Mitra Jaya.

Namun MoU mega proyek MIP yang akan dibangun di eks PT. Djayanti Group, Desa Waisarisa, Kabupaten SBB, dipertnyakan oleh masyarakat Negeri Kaibobo selaku pemilik hak ulayat dari lokasi tersebut.

Salah satu toko masyarakat Negeri Kaibobo, Samule Rirry, kepada wartawan melalui via telepon WhatsApp Minggu, (12/10/2025) mempertanyakan apakah benar MoU tersebut ditandatangani kemudian, berkaitan dengan proyek Maluku Integrated Port (MIP), atau hanya sebatas kerjasama di sektor tambang?

Diketahui, jika Shanxi Sheng’an Mining Co, Ltd, adalah perusahan asal Tiongkok yang bergerak di bidang pertambangan, yang mencakup bisnis batu bara dan produk-produk kimia seperti kokas dan metanol.

Sedangkan PT. Mitra Jaya Indonesia (MIJ) adalah perusahaan yang bergerak di bidang jasa maintenance building dan juga sebagai supplier.

“Mengapa? Mitra yang dipilih adalah perusahan tambang, bukan perusahan pelabuhan, atau industri logistik yang lebih relevan dengan proyek pelabuhan terpadu.”

Selaku masyarakat SBB, Rirry mempertanyakan mengapa penanda tanganan MoU dilakukan di Jepang, bukan di Indonesia atau di Tiongkok, jika mitra kerja berasal dari dua negara tersebut.

Bahkan kata dia, MoU proyek strategis senilai USD 50 juta atau berkisar Rp831 Miliar ini, tanpa menghadirkan Dewan Perwakilan Rakyat Daereh (DPRD) Provinsi Maluku dan Dewan Perwakilan Rakyat Daereh (DPRD) Kabupaten SBB, sebagai bagian dari perwakilan rakyat.

Ia menyebut, MIP adalah pelabuhan terpadu yang bertujuan menjadi pusat logistik dan distribusi strategis di Indonesia Timur, yang mencakup terminal peti kemas dan terminal kapal Roll-on/Roll-off, dengan are seluas 500 hektar.

“Itu sesuai MoU 500 hektar, sementara lahan bekas Djayanti Group sendiri cuma 68 hektar. Lantas lahan sisanya mau ambil yang mana,” shut Rirry.

Untuk itu masyarakat Negeri Kaibobo selaku pemilik petuanan di Desa Waisarisa dan sekitarnya, secara tegas mempertanyakan kesepakatan lahan 500 hektar, yang melibatkan Pemerintah Negeri Kaibobo.

“Kami takutkan ada kepentingan lain disebabkan perusahan Tiongkok tersebut bergerak di bidang pertambangan, jangan – jangan? bukan fokus di MIP, akan tapi ingin mengarap sumber daya alam di Negeri kami. Dan itu kami tolak,” tegasnya.

Untuk itu mewakili Pemerintah dan masyarakat Negeri Kaibobo selaku tuan tanah dan pemilik hak ulayat lokasi pembangunan MIP, ia meminta Gubernur Maluku, Hendrik Lewerisa, untuk menjelaskan hal tersebut kepada publik terkait dengan MIP.

“Kami berharap, Gubernur Maluku menjelaskan secara mendetail baik kepada publik akan tapi secara khusus masyarakat Negeri Kaibobo selaku pemilik tuan tanah dan pemilik hak ulayat di lokasi MIP,” cetusnya mengakiri.(*)

lensaperistiwa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *